Arsip

  • Buku La grâce du végétal menampilkan penalaran teologis yang unik dan segar mengenai divine economy.

    Merengkuh Kesemestaan
    Vol 10 No 2 (2023)

    Schaefer menawarkan konsep “reciprocite significative”, yakni hubungan timbal-balik untuk kedua belah pihak karena manusia juga memelihara dirinya sendiri ketika ia memelihara pepohonan. Kalau logika ini diteruskan, mungkin mengarah pada kesimpulan besar: segala sesuatu itu menjadi rahmat untuk yang lain. Barangkali, topik ini juga mewakili gerakan pemikiran dalam bidang teologi dan pemikiran agama yang lebih luas dan tidak hanya semakin inklusif, tetapi juga “universal”, dalam arti merengkuh kesemestaan (the universe). Pemikiran ini menambah luas gerak inklusif teologi dan pemikiran keagamaan yang sudah meretas batas geografis dan kawasan (theology without border) atau denominasi (oikumenis) dan agama (interreligius).

  • Tentang Cara Pandang Sekuler dan Rohani
    Vol 10 No 1 (2023)

    Kekristenan hanyalah sebuah agama bila mendasarkan diri pada dikotomi pemikiran yang sekuler dan rohani. Ia tidak ada hubungannya dengan kebenaran objektif yang kita percayai. Kekristenan hanyalah kepercayaan yang dipilih atau sekadar hasrat untuk memenuhi keinginan batin. Namun, dalam praktiknya, hal seperti ini sangatlah sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dilakukan. Bagaimana mungkin seseorang dapat membuat pemisahan secara tajam antara yang rohani dan sekuler di dalam dirinya? Bagaimana mungkin tindakan dan pemikiran seseorang di ruang publik bisa lepas dari agama atau keyakinan yang dia miliki?

  • Urgensi Agama dan Spiritualitas
    Vol 9 No 2 (2022)

    Fenomena munculnya “agama publik” di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa dunia agama dan spiritualitas tidak lenyap dari muka bumi. Artikel-artikel pada edisi ini melukiskan sebuah benang merah bahwa agama dan spiritualitas tetap dipandang dan diyakini sebagai entitas yang penting oleh (sebagian) masyarakat yang mampu dijadikan sebagai sumber inspirasi dan aktivitas positif baik dalam ruang yang lebih kecil (misalnya keluarga dan desa) maupun yang lebih luas (misalnya bangsa dan negara). Agama dan spiritualitas juga terbukti memiliki kontribusi penting dan berharga bagi kehidupan sosial dan individual para penganutnya. Dengan demikian, ramalan Nietzsche tentang “kematian Tuhan” (baca, agama dan sistem spiritual), untuk sementara, tidak terbukti di Indonesia.

  • Agama dan Etika di Era Sekuler
    Vol 9 No 1 (2022)

    Agama, dalam arti luas, sebagai sumber etika dan spiritualitas, tidak lagi dipandang sebelah mata oleh kaum terpelajar dan pengambil kebijakan publik. Hal ini diperlihatkan dengan adanya “desekularisasi” sebagai proses menghidupkan kembali nilai-nilai sakral di dunia yang dianggap sekuler. Selain aliran kebatinan atau kepercayaan seperti di Indonesia, di mana ada pengaruh kuat negara dan masyarakat penganut agama-agama dunia, sebagian besar penduduk bumi terus mencari spiritualitas meskipun tanpa agama formal.

  • Agama dan Keamanan
    Vol 8 No 2 (2021)

    Perubahan dalam paradigma keamanan tetap merupakan peluang bagi agama-agama untuk memberi dirinya berembuk urun gagasan pada urusan-urusan di bumi. Umat dan lembaga-lembaga keagamaan seyogianya ikut serta bersumbangsih pada bentang eksakta hingga humaniora maupun rentang kini hingga nanti. Tentu tidak hanya berhenti saat menyingsingkan lengan bahu-membahu membantu korban bencana alam, mengatasi kemiskinan, menegakkan hak asasi manusia, atau memperjuangkan lingkungan hidup yang layak, misi universal agama adalah juga menitikberatkan pada perkembangan diri manusia (human flourishing). Misi ini hanya dapat dilalui dengan berbalik dari cinta akan kenikmatan (the love of pleasure), yang mana merupakan poros utama budaya saat ini, kepada kenikmatan cinta (the pleasure of love).

  • Titik Berangkat Strategi Keamanan Nasional
    Vol 8 No 1 (2021)

    Dalam hal strategi, kita juga mendapati tidak ada strategi yang ampuh dalam mengantisipasi dan mengatasi berbagai ancaman yang ada. Perdebatan seputar strategi menjadikan rentan terjebak pada urusan cara. Jarang disadari bahwa di balik perancangan dokumen strategi tidak semata-mata berpusat pada strategi melainkan jalan hidup (way of life). Jalan hidup ini tidak hanya menyetir seluruh arah kebijakan nasional melainkan cerminan pandangan hidup bangsa yang menjadi kompas dalam mengarungi tantangan tiap masa

  • Virus: Sebuah Diskursus
    Vol 7 No 2 (2020)

    Wabah virus mendirikan panggungnya sendiri mengenai diskusi akan kebenaran. Kritik ataupun pembelaan menimbulkan pertentangan ‒ yang seringkali dianggap memicu kegaduhan ‒ mengenai gagasan di berbagai bidang ini justru memperoleh ruang untuk mendiskusikan kebenaran dan bukannya sebuah kontes membusungkan manusia yang tergagah, terkuat, terpandai, atau terhebat. Manusia tidak terpanggil untuk itu. Kepingan dan kutipan dari tiap pertentangan gagasan bukanlah recehan melainkan ajang penelitian mencari kebenaran. Sebagaimana halnya kalangan cerdik pandai yang senantiasa ikut serta berjibaku dengan wacana yang tergulir maka semestinya kita menyadari bahwa goresan peristiwa sejarah bermula dari bahasan ide-ide para pemikir.

  • Kebenaran Sebagai Oasis Masyarakat
    Vol 7 No 1 (2020)

    Awal abad 20, para pemikir menamakan era saat ini dengan era Pascamodern. Sesuai dengan penamaannya, kita berada pada zaman yang sedang melepas bayang-bayang dari sebuah era yang memegang erat modernisme. Manusia mulai beralih dari pemikiran yang rasional, kemajuan ilmu pe - ngetahuan melalui metode empirisnya, dan penekanan pada objektifikasi pemikiran individu menuju pada relativitas. Kebenaran adalah relatif. Dalam bidang kemasyarakatan, perubahan dari pola hidup masyarakat industri ke informasi semakin menunjukkan kekhasan era ini. Sejatinya, kebohongan itu sudah ada sejak zaman purba. Teknologi informasi hanya mempercepat dan mempermudah akses untuk menyebarkan kebohongan. Media sosial menggeser identitas individu yang membutuhkan medan pengakuan yang baru.

  • Landasan Hidup Bersama
    Vol 6 No 2 (2019)

    Kebijakan publik sejatinya merupakan jawaban terhadap persoalan bersama masyarakat, dan jauh dari usaha mendiskriminasikan kelompok lain. Itulah sebabnya, usaha menghasilkan kebijakan bermutu memerlukan partisipasi masyarakat secara luas, dan dilakukan secara hati-hati, apalagi untuk Indonesia yang didasarkan pada demokrasi Pancasila yang tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Kebijakan publik yang didasarkan pada Pancasila sejatinya merupakan jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tanpa diskriminasi.

  • Menyambut Pesta Demokrasi
    Vol 6 No 1 (2019)

    Sebuah kebijakan publik sejatinya tidak berisi keberpihakan pada kelompok tertentu yang mendiskriminasikan kelompok lain. Kebijakan publik merupakan aturan bersama yang dihasilkan dari konsensus bersama, terlebih lagi untuk Indonesia yang didasarkan pada demokrasi Pancasila yang tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Mempromosikan kebijakan yang bertujuan mengintervensi ruang privat atau individu sebagai wujud keberpihakan pada individu atau kelompok tertentu mestinya tidak boleh terjadi jika perumusan kebijakan dilakukan berlandaskan pada Pancasila dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang antidiskriminasi.

  • Heterogenitas Pancasila
    Vol 5 No 2 (2018)

    Heterogenitas tafsir terhadap Pancasila merupakan suatu realitas dari keberagaman yang ada di Indonesia. Namun heterogenitas Pancasila tidaklah menjadi alasan bagi timbulnya konflik antarpandangan yang berbeda. Heterogenitas Pancasila merupakan bukti bahwa semua orang yang berada dalam payung Pancasila diterima keberadaannya sebagaimana adanya. Heterogenitas Pancasila seharusnya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk belajar mengenal identitas yang berbeda dari setiap kelompok yang ada di Indonesia, baik suku maupun agamaagama.

  • Agama dan Kekerasan
    Vol 5 No 1 (2018)

    Kita tentu setuju bahwa agama dan kekerasan adalah dua hal yang bertolak belakang. Mengutip Olaf Herbert Schumann, agama dan kekerasan itu seperti terang dan gelap. Karena itu menuduh agama sebagai sumber kekerasan sama saja menyangkali misi suci agama sebagai pembawa damai. Tepatlah apa yang dikatakan Keith Ward, agama itu sendiri tidak menuntun pada sesuatu yang tidak baik, namun sifat manusia lah yang menuntun pada keburukan.

  • Mengevaluasi Kebijakan Publik
    Vol 4 No 2 (2017)

    Pemerintah patut berusaha keras menghadirkan kebijakan publik yang unggul, yang dapat dilaksanakan dengan baik untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Elite sepatutnya berjuang keras untuk memahami betapa besar pengorbanan yang harus dikeluarkan dari sebuah kebijakan yang buruk, bukan hanya menghabiskan biaya yang besar, tapi masa depan bangsa menjadi taruhannya. Sebuah kebijakan publik yang unggul tentu akan menghadirkan pelayanan publik yang baik dan kemudian akan berujung pada hadirnya kehidupan publik yang menghadirkan kebaikan bagi semua.

  • Merajut Kebangsaan
    Vol 4 No 1 (2017)

    Mengenai penyimpangan yang terjadi dalam proses pembangunan masyarakat Pancasila, Eka Darmaputera menjelaskan seperti berikut: Dalam praktik, kita bangun memang bukan masyarakat Pancasila. Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang terbangun bukanlah masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila) yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan selat. Dari sini lah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau mendengar: negara agama, No, masyarakat agama, Yes!

  • Agama Dalam Dunia Publik
    Vol 3 No 2 (2016)

    NKRI adalah milik bersama, yang menjamin bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya. Karena itu dalam proses transformasi Pancasila ke dalam hukum dan perundang-undangan, kelompok-kelompok agama tidak boleh melakukan dominasi atau hegemoni yang berakibat pada penciptaan hukum dan perundangundangan yang diskriminatif. Sebaliknya perjuangan agama-agama dalam transformasi Pancasila dalam hukum dan perundang-undangan harus didorong oleh semangat untuk memberi keadilan bersama. Agama-agama sejatinya harus menyumbangkan nilai-nilai yang inklusif dalam transformasi Pancasila. Nilai-nilai inklusif agama-agama ini akan menjadi landasan moral bagi bangsa Indonesia. Apabila agama-agama tetap berada dalam kodratnya, maka agama dalam dunia publik akan sangat berperan bagi terciptanya negara yang berjalan sesuai dengan kodratnya.

  • Societas Dei Vol.3 No.1 2016

    Kebijakan Publik: Sebuah Penunaian Konstitusi
    Vol 3 No 1 (2016)

    Istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa Yunani dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani “polis” (negara-kota) lalu dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi “politia” (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris “policie”, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan. Kebijakan publik merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Kebijakan publik ini adalah jalan bagi pemerintah Indonesia untuk mencapai apa yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kebebasan beragama yang merupakan syarat hadirnya toleransi antaragama harus didukung oleh perundang-undangan yang sesuai dengan semangat Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

  • Societas Dei Vol.2 No.2 2015

    Konflik Berjubah Agama
    Vol 2 No 2 (2015)

    Toleransi antar-kelompok masyarakat yang lahir dari semangat Bhinneka Tunggal Ika merupakan modal sosial yang menjadi kunci keberhasilan Indonesia, dan harus terus dipelihara untuk menjaga keutuhan Indonesia yang beragam, baik suku, agama, ras dan antargolongan. Sayangnya di Era Reformasi, toleransi kerap mengalami pasang surut yang kemudian menimbulkan konflik antarkelompok di negeri ini. Dalam perjalanan waktu, toleransi antarkelompok di Indonesia itu tidak selalu terjaga dengan baik. Ada banyak konflik antarkelompok masyarakat di negeri ini yang kemudian mengubah wajah Indonesia menjadi negara penuh dengan kekerasan antarkelompok masyarakat.

  • Societas Dei Vol.2 No.1 2015

    Memperjuangkan Kebebasan Beragama
    Vol 2 No 1 (2015)

    Karena hak kebebasan beragama merupakan hak dari Allah, maka aktivitas agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Hak menyembah Allah sesuai dengan keyakinan dan agama seseorang, baik pribadi maupun secara berkelompok bukan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah, tetapi pemerintah wajib menjaga agar hak-hak kebebasan beragama tersebut dapat terimplementasi dengan baik. Dengan demikian jelaslah bahwa penyembahan kepada Allah baik secara pribadi maupun kelompok tidak memerlukan ijin dari pemerintah. Dan karena kebebasan beragama bukannya tanpa batas, maka kebebasan beragama secara bersamaan juga merupakan kewajiban untuk umat beragama lain dapat melaksanakan kebebasan beragamanya.

  • Societas Dei Vol.1 No.1 2014

    Peran Agama terhadap Kebudayaan
    Vol 1 No 1 (2014)

    Stephen Tong menjelaskan,”Kebudayaan adalah kemuliaan manusia yang tertinggi. Keberhasilan sebuah kebudayaan adalah kemuliaan seluruh umat manusia. Sumbangsih dan keberhasilan kebudayaan seharusnya dimiliki seluruh umat manusia.” Pada sisi lain, kejatuhan manusia dalam dosa merupakan fakta sehingga dalam perkembangan budaya manusia tersebut tersembunyi fakta yakni kejatuhan. Itulah sebabnya perkembangan kebudayaan tidak baik-baik saja. Ada kejahatan, korupsi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, pelanggaran kebebasan beragama, bahkan peperangan, yang tidak jarang menampilkan wajah bengis manusia. Umat manusia dalam hal ini harus mewaspadai involusi budaya yang menghinakan martabat manusia dan kemudian berjuang bersama-sama untuk mencapai taraf kebajikan tertinggi: Summum Bonum (The Highest Good). Terlebih jika kita setuju bahwa kebudayaan adalah jiwa masyarakat: the soul of society.